Bara Jendawa
Sore yang sama seperti biasa, ketika petani membawa masuk satu persatu kerbaunya yang sesekali meronta ke kandangnya. Hal yang biasa di desa ini antara hewan peliharaan dan manusia hidup berdampingan, cangkul satu persatu di turunkan dari gerobak yang entah berapa tahun sudah umurnya, tampak masih kokoh walaupun agak sedikit menciut karena terkena hujan dan panas, tahun ini sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, musim kemarau yang tak kunjung selesai dari awal masa panen sebelumnya membuat siapapun yang berjalan, debu-debu dengan gampangnya berterbangan, sesuatu yang berbeda dirasakan warga kampung untuk tahun ini, entah apa, semoga desa ini dalam keadan baik-baik saja.
Ayahku seorang petani, dan Ibuku seorang penari dulunya, akibat penyakit yang dideritanya. Tulang belakangnya tak mampu menopang badannya sehingga selama bertahun-tahun dia hanya bias terbaring di bale bambu buatan ayahku sesekali dia meringis kesakitan akibat badannya lengket sudah dengan alas badannya. Ayah sudah mulai membenciku, aku sama sekali tak ingin menjadi petani seperti Ayah, bukannya aku tak mau membantu Ayah, aku benci dengan desa ini, kenapa petani sering sekali ditindas, diambil hasil panennya. Lalu diupah dengan tidak layak, desa ini di kepalai oleh Tuan Komboy, dia adalah penguasa desa ini, bakar hidup-hidup katanya. Satu keluarga dibakar hidup-hidup didepan warga, pernah terjadi sekitar empat tahun yang lalu, aku masih kecil sekali. Satu keluarga dibakar hidup-hidup, karena dia tidak sengaja meludah di depan rumah Komboy.
Aku besar dengan tak ikhlas, rasanya ingin mengutuk kedua orang tuaku, kenapa mereka melahirkanku? Mati atau hidup juga taka da ruginya untuk mereka aku tak ingin di desa ini. Aku tak ingin ada di keluarga ini, ayahku tak peduli jika aku mati bunuh diri atau aku yang akan membunuh mereka. Entah aku ini anak mereka atau tidak, dendamku cukup untuk membunuh keluarga ini, tangan ayahku sering mendarat dengan baik di badanku. Ibuku? Hanya melihat dan tertawa-tawa. Seakan-akan itu adalah hiburannya sendiri. Gila, keluargaku sekumpulan orang gila.
Bara Jendawa, entah siapa yang memberikan nama ini, ayahku pernah bercerita. Nama ini diberikan kepadaku lewat mimpi ibuku. Bara Jendawa, aku tak tau artinya. Mau bagus atau tidak aku tak peduli, hidup dikeluarga ini adalah mimpi buruk yang nyata. Tetapi tak selamanya buruk, ibuku seorang penari, aku sering menemaninya meliuk-liuk didepan lelaki hidung belang. Tak jarang kulihat laki-laki mencolek bokong ibuku. Ingin rasanya mengeluarkan isi perut lelaki itu. Tapi aku tak ada keberanian, sesak didada ini yang memaksaku untuk, belajar bagaimana caranya melindungi diri dan meluapkan dendam kepada semua orang yang menyakitiku.
Kepada Tuijan aku menyerahkan semua kehidupanku untuk belajar ilmu bela diri. Tuijan adalah teman kecilku, dia sedari kecil sudah sering berlatih bela diri. Aku ingat sekali sewaktu kami berumur sepuluh tahun, Tuijan dan aku bermain bola. Kemudian ada beberapa anak laki-laki yang menggangu kami. Lalu Tuijan mengambil dua tiga langkah, dihantamkannya kakinya ke perut bocah tadi, membiru tak lama tumbang. Kami bersorak, bocah itu pontang panting. Hari ini aku ingin bertemu Tuijan, dengan bermodalkan kendi yang aku buat sendiri, aku menemuinya dengan semangat. Kendi syaratnya, entah begitu aku tiba disana, kendi ini dihantamkannya ke kepalanya yang artinya dia menunjukkan kalau dia kuat, entahlah. Yang pasti aku tak meminta izin pergi pagi hari pulang siang hari kepada ayah dan ibuku hanya untuk berlatih kepada Tuijan.
Bersambung…