Vivian (Hadley Robinson) seorang siswa SMA Rockport yang baru saja memulai tahun ajaran baru merasa jengah akan perilaku diskriminatif kepada para siswi di sekolahnya. Terinspirasi oleh ibunya saat masih remaja ia pun membuat sebuah gebrakan yang berani.

Karena Vivian dikenal sebagai Anak yang pendiam dan tergolong kurang populer di rekan-rekan sebaya nya, membuat Vivian mampu melancarkan rencananya sebagai anonim melalui sebuah zine yang Ia beri nama ‘moxie’. Namun sebuah tindakan tentu ada konsekuensi yang harus diterima. Apakah Vivian akan bertanggung jawab atas gerakan yang ia mulai??

eac25e5ecbacadd653fd314c959a152202748c4a

Moxie merupakan film original yang bisa disaksikan di Netflix yang rilis pada 3 Maret 2021. Disutradarai oleh Amy Poehler, naskah ditulis oleh Tamara Chestna yang diadaptasi dari novel berjudul sama karangan Jennifer Mathieu. Film drama remaja ini dibintangi oleh Hadley Robinson, Amy Poehler, dan Patrick Schwarzenegger.

Sebagai sebuah film yang merayakan kebebasan siswi dalam melawan sistem yang dirasakan merendahkan martabat mereka sebagai perempuan. Mulai dari kritik dalam berpakaian, dieksploitasi sebagai bahan ritual reputasi konyol oleh tim football, hingga penindasan yang dilakukan oleh pihak institusi pendidikan. Hingga akhirnya Vivian memulai ‘moxie’ dan membuat sebagian besar siswi di sekolah menunjukan dukungan dan solidaritas satu sama lain akan perundungan yang mereka alami.

Lewat premis film yang disajikan, film ini berhasil mencuri hati penonton untuk merasakan semangat persaudaraan dan persatuan yang manis dan powerful. Ketika pada drama remaja coming of age Amerika mostly menunjukan gap antara siswi rupawan yang populer dengan siswi ‘biasa-biasa saja’ yang nerdy, dalam film ini setiap siswi dengan berbagai latar belakang ditunjukan bersatu karena memiliki kegelisahan yang sama.

As the main character, kehidupan pribadi Vivian pun ditambahkan menjadi sebuah bumbu agar terasa sedap. Mulai dari hubungan romantisnya dengan Seth (Nico Hiraga) yang manis, hingga hubungan Ibu dan anak bak roller coaster. Namun, masih ada beberapa latar belakang dan penokohan yang terasa terburu-buru dari penceritaan karakter Vivian.

Film ini sepertinya kurang relevan untuk kehidupan sekolah di Indonesia, maupun sebagian besar sekolah di belahan dunia lain yang mungkin tak sebebas sekolahan di Amerika. Membuat konflik atau permasalahan yang dihadapi oleh setiap karakter siswi dalam “Moxie” kurang relevan secara universal.

Solusi yang mereka hadirkan juga tidak bisa digolongkan inspiratif atau patut dicontoh untuk remaja dengan sistem pendidikan konservatif, terutama untuk sekolah-sekolah di Asia. Bisa gue simpulkan, bahwa film ini hanya terasa sebagai film drama remaja Amerika yang menghibur bagi kita; tentang seorang remaja yang memulai club feminisme dengan semangat rock n roll.

Bermaksud mengangkat isu feminisme di lingkungan sekolah, “Moxie” lebih berfokus pada aksi dan propaganda yang menyenangkan. Mulai dari flyer dengan desain collage yang remaja banget, doodle lucu ditangan sebagai simbol pemberontakan, hingga rangkaian aksi protes yang dilakukan sepanjang film.

Moxie_20191116_Unit_06750R

Namun, ibarat sekelompok orang yang hendak berdemo untuk mengkritisi pemerintah, mereka lebih sibuk menyiapkan massa, dresscode, hingga ban untuk dibakar daripada memikirkan dengan matang apa aspirasi yang hendak disampaikan untuk menuju perubahan yang pada akhinya hanya menjadi viral di internet dan menjadi buah bibir media dan warganet.

Sebuah kisah pada umumnya akan terasa janggal jika tidak ada sosok antagonis yang menjadi sumber masalah, sosok Mitchell Wilson dan Kepala sekolah bernama Marlene Shelly dihadirkan sebagai karakter antagonis. Patrick Schwarzenegger memerankan sosok Mitchell, yang tipikal kapten tim olahraga kebanggaan sekolah yang rupawan namun memiliki kepribadian yang buruk. Namun, saking ngeselin nya akan typical yang common dalam film remaja Amerika Mitchell seakan-akan “dipaksa”  oleh sang penulis naskah hanya untuk menjadi bahan dramatis untuk mengakhiri film. Begitu juga karakter Marlene sebagai sosok guru yang digambarkan 100% acuh pada siswi tanpa latar belakang yang jelas. Tidak ada sebab musabab yang kuat untuk penokohan pada dua karakter antagonis yang berakhir hanya menjadi sebuah tempelan yang asal jadi.

Secara keseluruhan, Moxie hanyalah film drama remaja coming of age tentang Vivian yang memulai sebuah revolusi. Meski menghibur, ada esensi dan isu serius yang tidak dikerjakan secara total, film ini berhasil melakukan pendekatan melalui sebuah pemberontakan yang seru namun tidak tepat sasaran jika diaplikasikan secara universal.