Belajar seni itu mudah. Asal ada kemauan dan keseriusan, kelak akan bisa menjadi  seniman yang  dikenal dan bermanfaat bagi orang lain. Namun yang susah itu, tatkala seniman sudah bersikap egois dan tak mampu lagi menghargai budaya bangsa lain dan karya orang.

Setidaknya hal itu dibuktikan  Jose Rizal Firdaus, 70, sang Maestro seni tari Melayu yang kini di usia senja nya  membuka  Lembaga Studi Tari Patria, dengan mengajarkan seni tari Melayu kepada anak-anak dari berbagai provinsi di Indonesia.

Jose Rizal Firdaus, juga menjadi salah satu yang terpilih menjadi Maestro seni di bidang  tari dalam program kegiatan pemerintah yang diberi  nama Belajar Bersama Maestro (BBM).  Kegiatan BBM tersebut melibatkan 15 Maestro kesenian dari berbagai bidang, termasuk Titiek Puspa, Ki Manteb Sudarsono,  Retno Maruti, Fendi Siregar, Caro David Habel Edon, Krisna Murti, Timbul Raharjo, dan maestro seni lainnya.

Program BBM tersebut  merupakan komitmen pemerintah pusat  lewat  Kemendikbud, untuk mengembangkan prestasi dan potensi anak-anak Indonesia di bidang seni dan budaya. Juga sebagai ruang mediasi  untuk mengirimkan pesan dari tokoh seni  kepada generasi penerus yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Para peserta didik bebas memilih Maestro sesuai dengan bakatnya.

“Ini bagi saya  seperti implementasi Nawacita nya presiden, tentang penyebaran kebudayaan. Selama ini yang kita tahu hanya di Jawa dan Bali saja.  Namun sekarang sudah ditetapkan 15 maestro seperti di Bandung, Makassar, NTB dan lainnya,” katanya kepada, saat ditemui di Lembaga Studi Tari Patria, Komplek. Bougainville Indah, Jumat (14/7) sore.

Berkat adanya program tersebut,  penyebaran kebudayaan melalui berbagai bidang  seni akhirnya menjuru ke semua daerah di Indonesia. Oleh sebab itu, Jose Rizal Firdaus, juga berpikir ingin  menggaungkan kembali kesenian di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara agar nanti  hal yang sama bisa dilakukan  melalui pertukaran seni  dan budaya yang ada berbagai wilayah di Sumut.

“Kalau  pusat saja bisa membuat sepert ini, kenapa kita tidak buat  di daerah. Misalnya  dari kabupaten ke kabupaten di Sumut ini, saling mempelajari tarian daerahnya masing-masing. Contoh, dari Labuhanbatu berangkat ke Nias untuk mempelajari budaya nya,” ungkapnya.

Ia meyakini, dengan  saling mempelajari  kebudayaan masing-masing setiap daerah, akan mampu lebih menguatkan rasa kebhinekaan yang saat ini sudah mulai luntur di tengah masyarakat Indonesia.

“Di tengah isu keberagaman, harusnya hal seperti ini kita lakukan agar bisa saling memahami. Jangan hanya seni dan budaya itu orientasinya untuk turis saja. Tetapi bagaimana  dengan otonomi daerah ini kita bisa memanfaatkannya untuk kegiatan seni itu,”ungkap anggota Dewan Kesenian Medan era tahun 90an ini.

Lewat seni tari Melayu yang diajarkannya, Jose Rizal Firdaus  tidak hanya melatih sebatas tarian saja tetapi anak didiknya kelak harus mampu melestarikan budaya.  Selain itu  ia juga merasa berkewajiban  berbagi pengalaman bagaimana pehit getirnya menjadi seoarg seniman.

”Mereka itu harus tahu suka dukanya,  bukan enaknya saja. Kelak  nanti mereka jadi seniman, bukan seniman yang egois, seniman yang tidak mampu menghargai budaya  lain dan menghargai karya orang,”tuturnya.

Jose Rizal Firdaus  di era 90an pernah  mengikuti kegiatan kesenian ke berbagai negara seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Pada tahun 1981 ia juga pernah mengikuti misi kesenian ke Inggris. Sejumlah karya tari yang pernah ia buat antara lain; Panglima Nayan, Zapin Gembira dan Pucuk Pisang.

Sumber: Rama Andriawan/ F (Harian Waspada)