Menikmati Sunrise dan Udara Dingin di Bromo
Waktu menunjukkan pukul 02.00 WIB saat saya dan rombongan press tour Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi tiba di pos terakhir (endless) Probolinggo. Mobil yang menempuh perjalanan 1,5 jam dari hotel tempat kami menginap di pinggiran Kota Malang, digantikan oleh deretan mobil Jeep kekar jenis hardtop yang siap menuju Bromo.
Lama perjalanan dengan jeep hardtop menuju Bromo ditempuh sekitar 1 jam. Sebagian jalan yang dilalui penuh liku dan mendaki membuat rasa kantuk menghilang. Ketika melewati hamparan pasir yang mengeras akibat hujan, itu tanda perjalanan sudah hampir tiba.
Kami berhenti di Bukit Cinta, sebuah spot paling populer di kawasan wisata Bromo Tengger Semeru. Kami pun menanti datangnya matahari atau sunrise penuh harap, mengingat hujan tak kunjung berhenti semalaman.
Ratusan pengunjungpun asik menikmati aneka minuman dan makanan ringan yang dijajakan di warung-warung kecil di sekitarnya. Sebagian lagi sibuk melakukan swa potret.
Sekira pukul 03.30 WIB, langit mulai memerah. Sang surya masih malu-malu menampakkan wajahnya. Semua pengunjung bersiap dengan kamera untuk mengabadikan kehadiran matahari terbit. Tak berapa lama, kabut mulai nampak setelah matahari benar-benar terbit di ufuk timur. Pemandangan luar biasa indah, membuncah dihadapan kami. Perjalanan sejak tengah malam di tengah kantuk yang mendera terbalas sudah.
Selain Bukit Cinta dan Bukit Teletubies, satu lagi spot asyik untuk memotret sunrise adalah bukit kingkong. Dari titik cinta, saya merogoh kocek Rp50 ribu untuk sewa motor pulang pergi. Sepanjang jalan, Hariawan, anak suku Tengger yang menghuni sebagian desa di kaki Gunung Bromo, menceritakan pengalamannya setahun ini mengantar turis dengan motor tuanya yang tangguh.

Pedagang di kawasan Bromo yang menjajakan mulai dari cindera mata, dan perlengkapan pengusir dingin seperti topi, sarung tangan dan syal.
"Saya antar turis. Kakak dan ibu saya buka warung di bukit cinta dan bukit kingkong bu. Kami cari nafkah dari sini," ujar Hari, remaja 18 tahun yang sigap.
Sampai di bukit Kingkong, saya masih mendapat sinar mentari yang dijanjikan Hariawan. Tapi saya lebih suka memotret pedagang kuliner yang berjejer di sepanjang bukit. Mereka orang-orang desa yang ramah dan lugu. Selain bertani, mereka juga membuka lahan ekonomi baru dengan berdagang di sejumlah titik pemberhentian kawasan wisata Bromo Tengger Semeru. Selain kuliner, ada cindera mata dan tentu saja perlengkapan pengusir dingin seperti sarung tangan, topi dan syal penutup leher.
Berselempang sarung, para pedagang yang sebagian besar adalah orang Tengger, suku asli di kawasan Bromo, berhasil mengusir dingin. Sementara saya dengan atribut kehangatan yang lengkap masih merasa kedinginan karena suhu di sini memang mendekati 10 derajat celcius.