Sepakbola selalu punya dramanya sendiri, cabang olahraga yang disebut sebagai the beautiful game ini selalu menguras emosi, baik yang berperan langsung di lapangan maupun yang hanya sekadar menonton. Saat ini sepakbola menjadi olahraga yang paling digemari hampir di seluruh dunia. Ada cinta yang berwujud tangis dan tawa walau tanpa gelar juara.
***
Selasa (28/11/2017), klub kebanggaan Kota Medan, PSMS Medan bertarung menghadapi tim yang tak kalah bersejarah; Persebaya Surabaya di final Liga 2 Indonesia. PSMS melenggang ke partai puncak Liga 2 setelah sebelumnya menekuk PSIS Semarang dengan skor 2-0 lewat pertandingan yang dramatis. Harapan akan juara langsung tertambat di dalam hati para pendukung PSMS Medan. Beberapa rombongan supporter langsung bertolak dari Kota Medan menuju Kota Bandung, tempat berlangsungnya laga final tersebut menyusul rombongan supporter yang telah lebih dulu tiba sejak laga semifinal. Ada dua hal menarik yang menjadi laga final Liga 2 antara PSMS Medan vs Persebaya Surabaya kali ini menjadi sarat gengsi.
Pertama, adalah persoalan historis rivalitas dan misi pembalasan dendam PSMS kepada Persebaya mengingat pertemuan terakhir kedua tim di tahun 2009 dalam babak play off, saat itu Persebaya berhasil menghempas PSMS menuju kasta kedua setelah menang lewat drama adu penalty. Kedua, kota tempat dihelatnya pertandingan sama persis dengan kota pada saat babak play off 2009, yaitu di Kota Bandung. Kota yang memiliki sebuah klub bernama Persib Bandung yang merupakan rival abadi PSMS Medan sepanjang sejarah. Akan tetapi, laga kali ini tidak digelar di Stadion Siliwangi seperti saat babak play off 2009 melainkan di Gelora Bandung Lautan Api. Hal menarik lainnya adalah tentang sosok figur pelatih PSMS Medan. Djajang Nurjaman yang merupakan mantan pelatih Persib bandung dan juga dikenal sebagai legenda Persib, kini justru datang kembali ke tanah pasundan dalam misi membela PSMS Medan. Rival abadi tim yang dahulu dibelanya.
Djanur, sapaan akrabnya ditunjuk untuk menukangi Ayam Kinantan ketika PSMS sudah memasuki babak 16 besar Liga 2 setelah ditinggal oleh Mahruzar Nasution yang merupakan pelatih sebelumnya. Saat Awal – awal Djanur menukangi PSMS, ia banyak dihujani kritikan karena dinilai tak kunjung menuai kemenangan. Strategi langsung diubah, beberapa pemain dari Liga 1 seperti I Made Wirahadi dan Elthon Maran dipanggil untuk bergabung ke PSMS Medan. Permainan PSMS menjadi sedikit lebih tajam hingga berhasil sampai ke partai puncak Final Liga 2 Indonesia menghadapi Persebaya. Historis Djanur dengan sepakbola sumatera utara terkhusus Kota Medan bisa dibilang tidak terlalu asing. Dirinya pernah membela klub Kota Medan Mercu Buana di kompetisi Galatama pada medio 1982 hingga 1985 sebelum akhirnya memilih kembali ke kampung halamannya dan membela Persib Bandung. Stadion Teladan Medan juga pernah menjadi saksi bisu kedigdayaan Djanur dilapangan kala membela Mercu Buana hingga akhirnya membuat putri Kamaruddin Panggabean, Manajer Mercu Buana kala itu yang juga tokoh sepakbola sumatera utara, Miranda Panggabean jatuh hati padanya dan menemani perjalanan hidup Djanur hingga kini. Dalam sesi wawancara dengan salah satu media nasional, Djanur menyebut Kota Medan seperti “ rumah kedua “ bagi dirinya.
Satu hari sebelum laga Final Liga 2 2017 berlangsung, Mantan Ketua Umum dan Manajer Persebaya Surabaya yang juga pendiri salah satu surat kabar terbesar di Jawa, Dahlan Iskan kembali mengingatkan sejarah duka dalam hatinya yang terjadi di Stadion Utama Gelora Bung Karno 25 tahun silam. Dalam situs resmi klub Persebaya Surabaya ia mengungkapkan bahwa kekalahan Persebaya atas PSMS Medan kala itu bukan disebabkan oleh permainan di lapangan, melainkan oleh serangan mental berupa lagu Sing Sing So yang dikumandangkan pendukung PSMS yang membanjiri Gelora Bung Karno. Dahlan menyebut nyanyian kompak dan massif yang diteriakkan anak – anak medan dari tribun stadion itu yang membuat mental pemain Persebaya runtuh. Memang, tidak sedikit para perantau dari Kota Medan di pulau Jawa yang mencintai PSMS. Bahkan, para supporter PSMS Medan di pulau Jawa dapat dikatakan lebih kompak dan satu suara dibanding dengan para supporter PSMS yang berada di Kota Medan. Hal ini seakan memperkuat istilah yang selalu digaungkan oleh para anak medan yang merantau yaitu Biar jadi kambing di kampung sendiri, Asal banteng di perantauan.
Teriakan yel – yel Kami Disini Anak – Anak Medan sayup – sayup terdengar dari tribun sebelah utara Gelora Bandung Lautan Api. Para perantau yang setia akan klub kebanggaannya, PSMS Medan ditambah beberapa supporter yang datang langsung dari Kota Medan satu suara memberi dukungan. Akan tetapi, malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih. PSMS Medan harus mengakui kehebatan Persebaya setelah takluk dengan skor 3-2 lewat babak perpanjangan waktu 2×15 menit. PSMS akhirnya menyerah setelah berjuang 120 menit. Permainan PSMS sebenarnya tidak kalah baik dengan Persebaya. Semangat juang para punggawa Ayam Kinantan beberapa kali juga berhasil membuat lini pertahanan Persebaya kerepotan. Tetapi, gaya permainan yang ngotot dan kecepatan – kecepatan luar biasa penyerang Persebaya akhirnya dapat menghantarkan mereka meraih gelar juara. Pun begitu, rasa bangga dan suka cita tetap hadir dalam jiwa para pendukung PSMS dimanapun berada, baik yang hadir langsung di stadion maupun yang menggelar nonton bareng di Medan.
Pasalnya, bagi mereka juara hanyalah nilai tambah. Namun yang paling penting PSMS Medan berhasil naik kembali ke kasta tertinggi persepakbolaan tanah air. Tempat PSMS yang sesungguhnya. Penantian selama lima tahun setelah terakhir kali di tahun 2012 PSMS berlaga di kompetisi tertinggi akhirnya tercapai. Liga 1 musim depan akan dihuni oleh tiga tim penuh sejarah yang telah lama meninggalkan singgasana. Persebaya Surabaya, PSMS Medan, dan PSIS Semarang. Tim tradisionil yang telah bangkit dari tidurnya. Saya berpendapat, tim – tim yang memiliki sejarah seperti ini yang memang layak bermain di kompetisi teratas Liga Indonesia. Bukan tim – tim yang baru dibentuk kemarin sore lantas membeli lisensi hanya untuk berlaga di kasta tertinggi, namun mencederai nilai – nilai perjuangan yang seharusnya menjadi hakikat persepakbolaan. PSMS berhasil mencapai harapan. Berhasil mewakili sumatera bersama Sriwijaya. Meskipun tak mampu menjadi juara di tanah rival abadinya. Namun, bagi para pecintanya PSMS berhasil menjemput asa walaupun tanpa mahkota.